Secara bahasa, wakaf diambil dari kata waqofa-yaqifu, masdarnya adalah waqfan. Artinya adalah berhenti, misalnya berhenti dari bergerak, berhenti dari berjalan.
Sedangkan dalam istilah, para ahli fikih menyebutkan bahwa wakaf adalah “menahan asal harta dan menjalankan manfaatnya”.
Menahan asal harta maksudnya adalah bendanya, misalnya rumah, pepohonan, tanah, mobil, dan seterusnya. Menjalankan manfaatnya adalah melepaskannya sehingga manfaatnya terus berjalan. Orang yang mewakafkan hartanya, maka hartanya tidak bisa berpindah kepemilikan, tetapi manfaat atau keuntungannya terus dijalankan.
Dasar dalam wakaf adalah riwayat dari Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu, beliau mendapatkan bagian tanah di Khaibar, tanah tersebut sangat berharga di sisi beliau, lantas datang kepada Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam dan meminta pendapat beliau apa yang hendaknya ia perbuat terhadap tanah tersebut, karena yang dilakukan para sahabat adalah menginfakkan harta-harta yang mereka cintai, Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam pun menunjukkan kepadanya agar diwakafkan, beliau bersabda : “Jika kamu mau, kamu tahan pokok hartanya, lalu kamu bersedekah dengannya”. (HR. Bukhāri 2737 dan Muslim 1633)
Sehingga ini adalah wakaf pertama dalam Islam, dan ini tidak dikenal pada masa Jahiliyah.
Hukum wakaf tergantung pada sisi penyalurannya, jika disalurkan untuk hal-hal yang disyariatkan maka wakaf tersebut hukumnya mustahab, karena termasuk jenis sedekah. Bisa menjadi wajib, jika seorang bernazar untuk mewakafkan hartanya. Jika ditakutkan terjatuh pada sesuatu yang haram maka hukumnya pun bisa menjadi haram. Apabila wakaf tersebut mempersempit hak ahli waris maka hukumnya menjadi makruh.
Contoh mustahab: seorang datang lantas mengatakan: aku ingin mewakafkan tanahku ini untuk dibangunkan masjid di atasnya, maka hukumnya adalah mustahab (dianjurkan), karena termasuk berbuatan ihsan dan sedekah, dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.
Seorang dikatakan mewakafkan hartanya jika ada indikasi bahwa ia ingin melakukan wakaf, sekalipun dalam hatinya tidak meniatkannya. Misalnya seorang membangun masjid lalu mengatakan kepada orang-orang “Shalatlah kalian di masjid ini”, maka sudah dihitung melakukan wakaf, walaupun dia tidak mengatakan “Masjid ini wakaf”, karena dia telah melakukan perbuatan yang menunjukkan bahwa ia mewakafkan. Berbeda jika seorang membangun tempat shalat di kebunnya, dan bentuknya bukan seperti bentuk masjid, lalu orang-orang berdatangan dan shalat di situ, maka ini tidak menunjukkan dia mewakafkannya. Jika dalam kondisi pertama dia mengingkari, lalu mengatakan “aku hanya ingin meminjamkan bangunan masjid ini” maka ia harus menulis “aku meminjamkan tempat ini untuk digunakan shalat, jika aku butuh maka aku ambil lagi” jika tidak maka dihukumi wakaf.
Syarat seorang yang melakukan wakaf adalah berakal, baligh, dan sebagian ulama mensyaratkan seorang tersebut boleh melakukan transaksi, maksudnya kondisinya sedang tidak memiliki hutang yang nilainya menghabiskan seluruh hartanya, karena melunasi hutang hukumnya wajib, sedangkan sedekah hukumnya mustahab atau sunnah, sehingga tidak mungkin kita gugurkan sesuatu yang wajib dengan sesuatu yang mustahab.
Disyaratkan untuk harta yang diwakafkan harus ada manfaatnya, sedangkan yang tidak ada manfaatnya maka tidak sah untuk diwakafkan sebagaimana tidak sah diperjualbelikan, kemudian disyaratkan manfaat tersebut tidak berhenti tetapi terus berjalan, dalam artian tidak berhenti pada masa tertentu, contohnya seorang menyewa rumah selama rentang waktu sepuluh tahun, kemudian ia terbesit keinginan untuk mewakafkannya, maka tidak sah, karena manfaatnya hanya selama masa sewa saja dan penyewa tidak memiliki harta tersebut tetapi manfaatnya saja. Disyaratkan juga benda yang diwakafkan tersebut jelas dan bendanya masih ada walaupun diambil manfaatnya, karena jika tidak bisa diambil manfaatnya kecuali merusak barang tersebut maka tidak sah, sehingga tidak bisa mewakafkan sekarung buah untuk orang-orang fakir, karena buah yang dimakan akan habis, sekalipun sebagian ulama menyatakan bahwa wakaf tetap sah walaupun barangnya bisa habis.
Contoh harta yang bisa diambil manfaatnya tetapi bendanya masih ada adalah bangunan rumah, tanah untuk ditanami, pertokoan, atau hewan baik hewan untuk ditunggangi, atau diperah susunya atau lainnya. Atau di zaman sekarang seperti mobil, motor, komputer, dan semisalnya.
Demikianlah sedikit pembahasan tentang hal-hal yang berkaitan dengan wakaf, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.
Pembahasan ini banyak mengambil faedah dari kitab As-Syarh Al-Mumti’ karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah.